Industri Mainan di Asia Tenggara
Oleh: Christoph Heinzel
(Indonesia amat berpeluang)
Pameran industri mainan akbar atau 'Spielwaren Messe' di Nürnberg, Jerman, baru saja usai. Pesertanya dari seluruh dunia, termasuk Indonesia dan Cina.
Spielwaren Messe di Nürnberg punya tradisi panjang. Tahun ini, pameran tersebut diselenggarakan untuk ke-58 kalinya. Pameran ini dimanfaatkan produsen mainan dari seluruh dunia untuk memperkenalkan produk terbarunya. Tidak ketinggalan pula peserta pameran dari Asia. Misalnya Cina yang setiap tahun menambah jumlah standnya. Hal ini bisa dimaklumi karena pabrik mainan di Cina berjumlah lebih dari 10.000. Dengan jam kerja tinggi dan upah tenaga kerja yang amat rendah, harga produk mereka di pasaran dunia menjadi amat murah. Tak heran, hal ini membuat Cina tak tertandingi dan merajai industri mainan dunia.
Sebagian besar produk ekspor mainan dari Cina, diproduksi di provinsi Guangdong, Jiangsu dan Shanghai. Walau begitu, makin jarang ditemui produk mainan yang berlebel 'made in China'. Mereka bersalin lebel menjadi 'made in Beijing', 'made in Shanghai' atau 'made in Guangdong'. Ini hanyalah sebuah akal-akalan agar produk mereka dapat tetap eksis di pasaran dunia. Pasalnya, belakangan ini para pembeli dari Eropa mengeluhkan kualitas produk Made in China yang tak stabil dan mudah rusak.
Dalam pameran industri mainan Spielwaren-Messe di Nürnberg, beberapa perusahaan mainan Indonesia ikut ambil bagian. Namun kondisinya amat berbeda dengan negara-negara lain. Jumlah peserta dari Indonesia tiap tahun kian menyusut. Kali ini, hanya tiga perusahaan Indonesia yang hadir dalam Spielwaren Messe. Padahal, tahun lalu ada lima perusahaan Indonesia yang ikut serta. Memang industri sedang menghadapi banyak tantangan besar, misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik.
Harsanta Budiarsa dari PT. Jaya Latexindo Internusa, peserta rutin Spielwaren Messe di Nürnberg menerangkan:
Harsanta Budiarsa: "Ongkos produksi kita jadi naik, apalagi dengan berita terakhir bahwa harga TDL akan dinaikkan, bahkan untuk industri 80 sampai 100 persen, itu menurut saya sungguh sangat memberatkan pabrikan, terutama pabrik yang sangat tergantung dengan listrik. Itu akan jadi penghalang besar.“
Anggota Asosiasi Industri Mainan Indonesia sudah banyak yang memindahkan usahanya ke negara lain. Banyak pula yang gulung tikar karena tak mampu bersaing dengan Cina. Sejak tahun 2004, lebih dari 10 anggota asosiasi tak lagi berproduksi. Seperti Asiana, Golden Bear, Sun Toy dan Harta Mas yang bergerak di bidang mainan boneka. Data tahun 2002 menunjukkan bahwa nilai ekspor industri mainan Indonesia turun drastis, bahkan tak mampu menembus angka 100 juta Dollar AS.
Salim Prasetyo dari PT. Jakarta Tunggal Citra yang bergerak di bidang sepeda anak menjelaskan, pemerintah Cina memberi berbagai keleluasaan sehingga perusahaan dari Cina bisa menekan harga serendah mungkin. Jadi tidak mudah bersaing dengan perusahaan-perusahaan Cina.
PT. Jakarta Tunggal Citra hadir untuk kedua kalinya dalam Spielwaren Messe. Promosi perusahaan ini di luar negeri banyak dibantu oleh program bantuan promosi dari Swiss, yaitu Swiss Import Promotion Programm, atau disingkat SIPPO. Lembaga non profit pemerintah Swiss ini membantu industri berskala kecil-menengah di negara-negara berkembang. Terutama untuk mempromosikan produk-produk di Eropa, termasuk Eropa Timur. Organisasi yang telah berdiri 30 tahun ini tak hanya memfokuskan bantuannya pada industri mainan. Di Indonesia, mereka membantu perkembangan industri furniture dan tekstil.
Project Manager SIPPO, Jitka Doytschinov, menerangkan, kegiatan saat ini lebih difokuskan ke Indonesia dan Vietnam.
Jitka Doytschinov: "Saat ini ada dua negara berkembang Asia yang kami bantu dalam industri mainan yaitu Vietnam dan Indonesia. Namun saat ini kami memfokuskan kegiatan untuk mendukung perkembangan Indonesia sperti mengadakan training, seminar dan membantu mereka berpameran dalam segi akomodasi. Sesungguhnya mereka memiliki potensial yang amat besar dalam industri mainan.“
Kekuatan Cina dalam produksi mainan memang tak terbendung. Namun SIPPO tetap berusaha membantu Indonesia dalam pemasaran di Eropa.
Jitka Doytschinov: "Pertamanya adalah memberi gambaran tentang pentingnya desain dan trend di Eropa. Memang sulit untuk bersaing dengan Cina dalam soal harga. Tak ada yang bisa menandingi mereka. Kami berusaha untuk meyakinkan mereka agar mendesain hal-hal yang autentik yang tak mudah ditiru, terutama menggunakan bahan baku lokal. Ini perlu waktu.“
Kreatifitas dan penggunaan bahan baku lokal diakui David Susanto, general manager PT. Adipersada sebagai langkah paling jitu untuk bersaing dengan Cina. Penjiplakan atau pelanggaran hak cipta oleh pabrikan Cina telah menjadi hal lumrah dalam industri mainan.
David Susanto: "Kalau kita mau bersang dalam harga dengan mereka memang susah. Cara satu-satunya. Kita harus lebih kreatif, menciptakan produk yang sangat unik yang belum diproduksi perusahaan Cina. Jadi kita bisa merebut pasar.“
Di sisi lain, tampaknya pemerintah Indonesia belum berupaya maksimal untuk menggerakan kembali roda industri mainan yang mulai gembos.
David Susanto: "Mungkin pemerintah belum fokus membantu kami kami terutama yang padat karya karena pemerintah juga punya banyak masalah yang harus dibenahi.Tapi saya percaya lambat laun mereka akan memperhatikan kebutuhan kami ini“
Thailand rupanya memiliki industri mainan yang situasinya jauh berbeda dengan Indonesia. Nilai ekspor mereka tahun 2004, mencapai sedikitnya 200 juta Dollar AS. Dengan 450 perusahaan mainan yang aktif bergerak, mereka tampak percaya diri dalam menghadapi Cina. Namun bukan berarti mereka tak punya masalah. Harga bahan bakar yang melambung juga merupakan rintangan berat bagi mereka.
Ketua asosiasi industri mainan Thailand, Dongjai Koosrivinij mengungkapkan komitmen mereka dalam upaya bertahan menghadapi persaingan dengan Cina.
Dongjai Koosrivinij: "Motto industri mainan Thailand adalah Desain, Kualitas dan Komitmen. Keunggulan kami dalam bahan baku adalah kayu. Kami menggunakan kayu dari pohon karet. Anda tahu bahwa Thailand adalah penghasil latex terbesar di dunia.“
Pohon karet yang telah berusia lebih dari 20 tahun, tak lagi menghasilkan getah. Mereka ditebang dan direboisasi kembali. Kayu hasil tebang pilih inilah yang digunakan industri mainan Thailand. Negara ini banyak belajar dari industri mainan Jepang. Sekitar 30 tahun lalu, Jepang terkenal dengan produk mainan dengan harga murah. Kemudian industri mainan Jepang berkembang menjadi aktor penting dalam industri mainan dunia. Salah satu hal yang perlu diperhatikan untuk bersaing adalah pengembangan desain mainan anak. Dengan desain yang baik, produsen bisa menawarkan produk dengan tinggi. Tetapi para desainer juga harus mengetahui kebutuhan pasar.
Dongjai Koosrivinij dari asosiasi industri mainan Thailand menerangkan,
Dongjai Koosrivinij: "Desainer juga perlu punya kemampuan pemasaran. Kebanyakan desainer kita lulusan universitas. Tetapi mereka juga perlu informasi pasar untuk mendesain produk yang cocok“.
Diam-diam, desain produk mainan Thailand telah memenangkan berbagai penghargaan internasional, termasuk dalam kompetisi desain inovasi Spielwaren Messe tahun ini. Prestasi ini merupakan satu poin penting bagi pembeli Eropa untuk memperhitungkan produk mainan buatan Thailand.
Sumber: Milis Internet.
[wanita-muslimah] Industri Mainan di Asia Tenggara
Keris Wawan
Wed, 08 Feb 2006 13:20:45 -0800